Amburadulnya Tata Kelola Pangan Nasional

Catatan Redaksi


BUKAN kali pertama harga bahan pangan khususnya beras di seantero negeri ini melambung bebas tanpa kendali, namun sudah terjadi sejak dahulu kala. Dari masa ke masa, pesoalan yang sama selalu terjadi. Dan bentuk penanganannya tak pernah berubah, selalu saja seperti pemadam kebakaran, sudah mahal dan langka, barulah operasi pasar gencar dilakukan.

Sebegitu sulitkah mengatasi persoalan pangan (beras) di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini...? Tentu saja tidak...! Tidak ada yang tidak mungkin jika para pengelola negara memiliki kemauan membangun kedaulatan pangan bangsanya.

Namun sepanjang sejarah perjalanan negeri ini, belum nampak adanya komitmen yang kuat untuk membangun kedaulatan pangan. Ketahanan pangan masih berbasis pada pangan impor, yang sejatinya mempertebal keyakinan dunia luar, bahwa negeri ini memang belum berdaulat.

Sebab, tidaklah berdaulat suatu bangsa yang pangannya masih "terjajah".

Minim Keperdulian

Lalu seberapa perdulikah penyelenggara negara terhadap ketahanan pangan nasional...?

Nampaknya keperdulian itu masih-lah berupa mimpi dalam tidur yang teramat panjang.

Bagaimana tidak...? Nasib Rakyat Tani Nasional yang sejatinya menjadi ujung tombak ketahanan pangan, masih sebatas dibahas dari seminar ke seminar.

Begitu pula bibit, pupuk dan segala macam program yang mengatasnamakan Rakyat Tani, masih menjadi lahan subur bagi para koruptor laknat.

Belum lagi minimnya keperdulian penyelenggara negara, yang nampaknya semakin nyata dari kurangnya penelitian (lab) pangan. Bahkan tak jarang fakultas-fakultas pertanian dibeberapa kampus melakukan penelitian secara mandiri. Kurangnya dukungan seperti inilah yang membuat hasil penelitian tidak sampai ke Rakyat Tani yang sesungguhnya. Kalaupun sampai, hanyalah sebatas dari seminar ke seminar yang dihadiri segelintir orang yang bahkan tak pernah turun ke pematang sawah.

Malu


Semakin merosotnya produksi pangan (beras) nasional, juga tidak terlepas dari tidak adanya jaminan kesejahteraan hidup bagi Rakyat Tani. Padahal Rakyat Tani adalah pekerja keras yang sesungguhnya. Mereka bahkan tidak pernah melihat lampu padam, sebab selepas subuh mereka berangkat ke sawah, dan jelang maghrib baru beranjak kembali kerumah.

Lalu kenapa rerata dari Rakyat Tani masih hidup dibawah garis kemiskinan...? Para pejuang kedaulatan pangan bangsa kok bisa hidup dibawah standar layak...? Lebih-lebih Rakyat Tani gurem yang rerata menjadi penerima Bantuan Sosial (Bansos) berupa beras...!

Tidak-kah para pengelola negara malu melihat para pejuang ketahanan pangan hidup dibawah garis kemiskinan...? Sementara mereka makan dari butiran beras penuh peluh Rakyat Tani yang masih terpinggir...!

Jika saja para pendiri bangsa ini menyaksikan kondisi pangan dan Rakyat Tani-nya yang seperti sekarang, pastilah mereka akan menangis. Jangankan berdaulat, sekedar mendekati ketahanan saja tidak terwujud. Ketahanan pangan hanya ada dalam janji dari 1001 pemimpi. Maka tidaklah berlebihan jika pengelolaan pangan nasional tengah berada pada kondisi yang amburadul.

Stok Cukup Tapi Beras Langka & Mahal

Banyak kalangan yang menyatakan keheranan, kenapa harga beras saat ini tak terkendali...? Sementara per Desember 2023 lalu, Perum Bulog sebagai perusahaan negara yang mengurusi persoalan pangan memiliki stok hingga 1,6 juta ton. Ditambah lagi dengan IDF Food sekitar 2 juta ton, dan dilevel daerah 6,7 juta ton. Artinya stok beras sejak awal tahun masih dikisaran 10 juta ton, yang jika dibandingkan dengan kebutuhan beras nasional dikisaran 2,5 juta ton per bulan, maka stok itu lebih dari cukup hingga masa panen raya.

Apakah ada yang salah dengan angka stok beras nasional maupun Cadangan Beras Pemerintah (CBP)...? Atau jangan-jangan kondisi saat ini tercipta dari permainan jaringan mafia pangan yang hendak melanggengkan impor secara rutin...?

Begitu pula janji beras Bulog yang akan segera masuk ke ritel-ritel modern, sampai saat ini rak-rak beras disetiap ritel masih dipenuhi toples-toples makanan ringan.

Nampaknya pemerintah tidak boleh menganggap sepele persoalan seperti ini. Harus ada langkah nyata untuk mengintervensi ketersediaan beras dipasaran. Karena ketika orang yang dalam keadaan lapar marah, maka apapun bisa terjadi. Lebih-lebih saat suasana Pemilu dan Pilpres sedang hangat-hangatnya seperti sekarang.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tunjangan Kinerja PNS Kementerian PUPR Diusulkan Naik 100 Persen

Dukung Pengembangan Kawasan, BBPJN Sumut Bangun Jl Lingkar Ir Soekarno Siborongborong

Penanganan Bahu Jalan Rawan Ambles di BBPJN DKI-Jabar Setengah Hati