Tutup Celah Korupsi Konstruksi Lewat Lelang Berbasis Rantai Pasok & Audit Dua Level

Catatan Redaksi


SEMAKIN gencar aparat penegak hukum menindak, perilaku korup justeru kian marak. Para pelaku korupsi seakan tiada jera memanfaatkan celah untuk mengeruk keuangan negara lewat cara-cara yang haram.

Tak hanya jasa konstruksi swasta, yang berbaju Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun justeru seakan menjadi pioner perilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di tanah air.

Sebut saja Waskita Karya, Nindya Karya, Adhi Karya hingga Amarta Karya, semuanya tersandung kasus korupsi pada masing-masing proyek yang dikerjakannya.

Menghadapi masifnya perilaku korupsi dibidang konstruksi ini, rasanya  pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkrit untuk menutup celah yang selama ini lazim digunakan para koruptor, salah satunya dengan menerapkan Lelang Berbasis Rantai Pasok dan Audit Dua Level.

Lelang Berbasis Rantai Pasok

Tak bisa dipungkiri, lewat lelang  berbasis elektronik (online) yang dalam beberapa tahun terakhir ini berlangsung, hanya bisa mempersempit ruang gerak terjadinya korupsi berupa setor dimuka, mark-up, hingga "perselingkuhan" antara panitia lelang dengan jasa konstruksi pemenang lelang. Itupun baru sebatas mempersempit, belum bisa menutup semua celah untuk terjadinya korupsi.

Berkaca dari pengungkapan sejumlah kasus korupsi dalam beberapa tahun terakhir, ruang korupsi dalam sistem pelelangan yang berlaku saat ini masih terbuka lebar. Misalnya dari sisi subkontraktor, pemenang lelang masih bebas memilih sendiri siapa yang akan menjadi rekan kerjanya sebagai subkontraktor. Mereka juga bebas menekan harga kepada subkontraktor agar bisa memperoleh keuntungan lebih besar.

Tak hanya itu, pemenang lelang bahkan bebas mensubkan semua item pekerjaannya. Meskipun semua tahu hal itu dilarang, namun dalam prakteknya dianggap lumrah. Hal inilah yang menjadi celah bagi jasa konstruksi pemenang lelang, baik BUMN maupun swasta untuk main kotor cari untung sebesar-besarnya, bahkan lewat subkontrak fiktif.

Kalau keadaannya seperti ini, lalu kenapa tidak sekalian subkontraktor ini dilegalkan, dengan cara memberlakukan Lelang Berbasis Rantai Pasok.

Sebab lewat lelang model ini, Subkontraktor akan terdaftar secara resmi dalam dokumen kontrak, sehingga mereka mengetahui secara pasti apa saja yang menjadi hak dan kewajibannya.

Dengan Lelang Berbasis Rantai Pasok pula, pemerintah memberikan jaminan kepada jasa konstruksi kecil yang menjadi subkontrak mendapatkan bayaran  sesuai volume fisik pekerjaannya tepat waktu. Sebab setiap pemilik pekerjaan (pemerintah) membayar, uangnya akan masuk kedalam rekening (akun) bersama, diketahui bersama, dan dibagi bersama sesuai volume pekerjaan masing-masing. Sehingga tak ada lagi kontraktor yang bangkrut karena tidak dibayar. Sebab sejatinya, tidak ada satupun kontraktor yang bangkrut sepanjang dia menjadi rekanan langsung dari pemerintah. Yang bangkrut rerata kontraktor yang menjadi subkontraktor yang tidak dibayar oleh jasa konstruksi pemenang lelang.

Begitu pula, lewat Lelang Berbasis Rantai Pasok, secara perlahan tapi pasti, pemerintah dapat menciptakan kontraktor-kontraktor spesialis untuk setiap item pekerjaan. Karena seiring waktu, subkontraktor yang fokus pada item pekerjaan yang sama, akan handal pada bidangnya, tanpa harus mempelajari teori dari seminar ke seminar yang terkadang tidak sesuai dengan tantangan yang menghadang dilapangan. Artinya tanpa harus mengeluarkan anggaran untuk menciptakan spesialis-spesialis tertentu, negara telah memberikan jaminan kepada setiap jasa kontruksi untuk mengembangkan daya saingnya masing-masing seiring perkembangan jaman.

Bukan hanya itu, dengan memberlakukan Lelang Berbasis Rantai Pasok, maka kontraktor kecil tidak perlu bersaing dengan kontraktor-kontraktor besar, yang kemungkinan menangnya sangat tipis.

Selain membuka peluang bagi kontraktor kecil untuk hidup dan berkembang, dalam hal inipun pemerintah telah menutup peluang terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Sebab "pertarungan" beda kelas pun termasuk jalan tol bagi monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Audit Dua Level

Tak cukup hanya dengan Lelang Berbasis Rantai Pasok, ruang korupsi dibidang konstruksi pun harus ditutup rapat-rapat lewat Audit Dua Level.

Selama ini, audit oleh lembaga auditor negara hanya sampai pada tataran Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang harus membuktikan ketepatan penggunaan anggaran lewat laporan keuangan yang direalisasikan kepada jasa konstruksi pemenang lelang. Begitu pula pemenang lelang hanya sebatas memberikan laporan kepada PPK dan survey/pemeriksaan fisik bersama.

Sementara laporan pengeluaran keuangan dari jasa konstruksi pemenang lelang kepada subkontraktor, tidak pernah diaudit.

Dengan pemberlakuan sistem Audit Dua Level, nantinya auditor dapat mencocokkan antara laporan keuangan dari PPK ke pemenang lelang dengan laporan keuangan dari pemenang lelang kepada subkontraktor. Begitu pula subkontraktor yang nantinya memiliki ruang untuk menerangkan berapa sebenarnya bayaran yang diterima atas item yang dikerjakannya.

Sebab tidak bisa dipungkiri, celah antara pemenang lelang dengan subkontrak ini kerap dimanfaatkan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, bisa dengan menekan harga kepada subkon, nitip harga (mark-up), hingga subkon fiktif.

Hanya saja, untuk menerapkan sistem Lelang Berbasis Rantai Pasok dan Audit Dua Level ini, diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak, baik pemerintah maupun DPR.

Karena hanya dengan hal ini, maka tidak ada lagi Gubernur, Bupati, Walikota, anggota legislatif dan pejabat-pejabat publik lainnya yang ditangkap dan dipenjarakan oleh aparat penegak hukum akibat tersandung kasus korupsi dibidang konstruksi.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tunjangan Kinerja PNS Kementerian PUPR Diusulkan Naik 100 Persen

Dukung Pengembangan Kawasan, BBPJN Sumut Bangun Jl Lingkar Ir Soekarno Siborongborong

Penanganan Bahu Jalan Rawan Ambles di BBPJN DKI-Jabar Setengah Hati