Tangkal Main Kotor BUMN Konstruksi
Catatan Redaksi
BELAKANGAN ini, berbagai modus main kotor Badan Usaha Milik Negara (BUMN) konstruksi terus mengemuka. Ada berupa kontrak fiktif, mark-up harga satuan, main dari sisi platform utang, hingga subkontraktor (vendor) yang tidak dibayar material ataupun hasil kerjanya.
Sudah menjadi rahasia umum, jika BUMN kontruksi tidak memiliki peralatan yang lengkap untuk mengerjakan setiap proyek infrastruktur yang dimenangkannya dalam tender/lelang. Untuk menyiasatinya, begitu mendapat pekerjaan, mereka mencari subkontraktor, kemudian pekerjaan di subkan item per item.
Sebenarnya sulit juga diterima akal sehat, ketika perusahaan BUMN yang menjadi kebanggaan negara hanya bertindak sebagai management saja, memeriksa volume pekerjaan, dilaporkan kepada pemerintah (user), kemudian menerima bayaran. Sementara subkontrak (swasta) yang bermandi peluh hanya menunggu pembayaran dari BUMN pemenang tender. Kalau kejadiannya seperti ini, lalu apa bedanya dengan calo...???
Mirisnya lagi, rupanya dari sisi subkontrak inilah yang selama ini menjadi celah bagi BUMN konstruksi untuk main kotor. Kepada pemilik pekerjaan mereka mematok harga tinggi, sementara ke subkontrak mereka menekan biaya konstruksi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Praktek yang selama ini dianggap "lazim" diterapkan, baik dibawah meja maupun di atas meja, dari 100 persen nilai kontrak, bahkan ada pekerjaan yang konstruksinya selesai di angka 53 persen. Bisa dibayangkan bagaimana kualitas pekerjaan yang diterima oleh masyarakat selaku penerima manfaat akhir.
Lantaran besarnya "keuntungan" yang bisa mencapai angka 47 persen yang tidak mungkin mereka tarik tanpa ada semacam laporan volume pekerjaan, maka mereka mengakalinya dengan membuat kontrak (sub) fiktif. Kontrak fiktif itu bisa di angka 40-42 persen dari nilai kontrak, agar keuntungan terbaca sepertinya "hanya" sekitar 5-7 persen.
Subkontrak fiktif itulah yang "bertugas" menarik uang untuk disetorkan kembali kepada BUMN kontruksi dengan nilai yang sudah ditentukan dibawah tangan sebelumnya. Hal itu terbaca dalam pembuktian kasus yang menjerat "DS".
Beda lagi dengan kasus yang menjerat sang Dirut, "kelompok" ini bermain dengan platform utang untuk mendapatkan keuntungan. Jika saja platform utang itu ditarik untuk pembiayaan kegiatan resmi perusahaan, itu tidak jadi masalah, tapi ketika itu ditarik untuk mendapatkan keuntungan pribadi/kelompok, maka disitulah unsur korupsinya terjadi.
Main kotor BUMN konstruksi tidak hanya sebatas pada kontrak fiktif, tapi ada pula yang mensubkan pekerjaan dengan harga standar sesuai nilai kontrak dengan pemerintah (pemilik pekerjaan), namun sebagian dari nilai kontrak itu akan balik lagi kekantong BUMN konstruksi dalam bentuk kes, nilainya tergantung dari perjanjian bawah tangan sebelumnya.
Akibat sistem kontrak yang membebaskan BUMN konstruksi untuk memilih sendiri perusahaan subkontraktor, maka timbullah masalah yang selama ini mengemuka, yakni banyaknya subkontraktor yang menagih pembayaran ke BUMN konstruksi. Bahkan ada vendor atau perusahaan swasta yang mengerjakan pekerjaan subkontraktor sampai 5 tahun belum dibayar, padahal pemerintah atau pemilik pekerjaan sudah membayar lunas kepada BUMN pemenang kontrak.
Hal-hal seperti ini sebenarnya bisa ditangkal dengan lelang berbasis rantai pasok.
Semua pihak sejatinya sudah mengetahui, bahwa pekerjaan yang lelangnya dimenangkan oleh BUMN itu pasti akan di subkontraktorkan. Karena bagaimanapun, BUMN konstruksi tidak memiliki alat, dan alat-alat yang selama ini didaftarkan dalam dokumen lelang itu punya pihak lain (swasta).
Untuk menangkal rantai korupsi yang sampai sekarang makin menggurita tersebut, hanya bisa dengan cara menggunakan lelang dengan sistem Pelelangan Berbasis Rantai Pasok. Dengan sistem ini, maka secara otomatis semua perusahaan jasa konstruksi yang menjadi subkontraktor terdaftar secara resmi dalam dokumen kontrak.
Dengan demikian, maka semua subkontraktor mengetahui secara pasti apa yang menjadi hak dan kewajibannya masing-masing. Begitu juga ketika pembayaran dilakukan, uangnya akan masuk ke dalam rekening bersama, dan dicairkan/dibagi sesuai volume pekerjaan masing-masing.
Tapi kembali pada niat para pengambil kebijakan, apakah memang berniat menutup segala celah untuk terjadinya korupsi atau sekedar memenjarakan para pelaku korupsinya...???
Hal lain yang tak kalah penting untuk menekan peluang terjadinya korupsi dibidang konstruksi, sistem audit yang selama ini berlaku pun harus dirubah. Yang selama ini berlaku, audit hanya dilaksanakan sebatas pada pemilik pekerjaan (pemerintah). Sementara BUMN konstruksi ataupun jasa konstruksi hanya mengajukan bukti-bukti pekerjaan yang sudah dibayarkan oleh pemerintah.
Sedangkan BUMN konstruksi mengaudit dirinya sendiri menggunakan Kantor Akuntan Publik (KAP).
Jika terus menggunakan sistem audit yang selama ini dilakukan, maka selamanya akan terjadi mis-data yang membuka ruang terjadinya korupsi.
Dan mestinya hal ini menjadi momentum untuk menutup celah terjadinya korupsi, dengan menerpkan sistem audit dua lapis kebawah oleh lembaga audit negara (BPK/BPKP), mulai dari pemerintah selaku pemilik pekerjaan, BUMN pemenang kontrak, hingga lapisan subkontraktornya. Sebab hanya dengan sistem audit seperti ini, maka subkontrak fiktif maupun mark-up harga lewat subkontrak bisa diatasi. Sehingga besaran keuntungan dari nilai kontrak bisa diukur tingkat kewajarannya sesuai aturan yang berlaku.***
Komentar
Posting Komentar