Negara Dalam Kuasa Para Penambang...?
Catatan Redaksi
HANCUR sudah infrastruktur jalan nasional penghubung Banjarmasin-Batulicin.
Disatu sisi jajaran Direktorat Jenderal Bina Marga (DJBM) Kementerian PUPR mati-matian bekerja keras memelihara, membangun dan merekonstruksi infrastruktur jalan dan jembatan, tapi disisi lain kendaraan angkutan tambang dan kegiatan pertambangan merusak tanpa henti.
Pemerintah seakan dibuat tidak berdaya dalam mengatasi aksi penambangan yang makin menggila, terlebih setelah izin kegiatan pertambangan diambil-alih oleh pemerintah pusat.
Sebab itulah ketika muncul masalah bahkan bencana dari kegiatan pertambangan yang tidak mengindahkan lingkungan, pemerintah kerap "berdalih" tak memiliki kewenangan walau sekedar proteksi. Mungkinkah negara kini berada dalam genggaman para penambang...?
Seperti yang sekarang tengah terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Jalan yang dibangun oleh Kementerian PUPR dengan biaya ratusan miliar, kini putus total akibat longsor. Para penambang nyaris hanya mengeruk keuntungan tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat secara luas. Hanya dengan mengeluarkan dana CSR yang tidak seberapa, itupun sebatas bagi warga disekitaran pertambangan, para penambang sudah merasa berbuat sesuatu yang bermanfaat. Padahal dampak yang ditimbulkan ketika akses jalan terputus, jauh lebih besar dan meluas.
Dalam beberapa waktu belakangan, sejumlah media lokal dan nasional mencatat, bahwa bagian jalan yang masih tersisa akibat longsor, kini telah benar-benar lenyap tertelan lubang eks galian tambang.
Kini masyarakat praktis hanya menggunakan jalan berlumpur yang dibuat sementara pada bagian pekarangan rumah warga. Jalan yang ada hanya bisa dilintasi sepeda motor, itupun harus ekstra hati-hati jika tidak ingin terjerembab kedalam lubang.
Sementara untuk kendaraan roda empat atau lebih, harus memutar jauh masuk ke jalan tambang. Meski jalan hauling itu licin dan sempat membuat kendaraan tergelincir, namun terpaksa harus dilewati karena tidak ada jalan lain.
Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Kalsel selaku pemilik ruas sendiri, belum memungkinkan untuk menangani longsor tersebut dalam waktu dekat, mengingat anggaran yang sangat terbatas. Jangankan untuk TA 2022, di TA 2023 nanti pun belum tentu ditangani.
Untuk sekedar mengatasi agar arus orang dan distribusi barang/jasa tidak terputus total hingga menyebabkan inflasi, Pemda pun berusaha membangun jalan sederhana sesuai kemampuan APBD.
Terkait tambang yang menjadi Biang-Keladi terputusnya jalan nasional, Pemda tidak bisa berbuat banyak.
Dari catatan Walhi Kalsel, lokasi tambang aktif disekitar lokasi longsoran, tidak lebih dari 200-an meter, jauh dibawah batas aman yang dipersyaratkan Kementerian LH, yakni 500 meter.
Namun sayangnya, hingga saat ini baik pemberi ijin pertambangan maupun Kementerian LH belum juga mengambil langkah-langkah konkrit, apakah memberikan sanksi kepada perusahaan pertambangan atau malah berlindung dibalik ketiak para penambang.
Setidaknya ada empat perusahaan pertambangan yang dimintai tanggungjawab atas longsor tersebut, yakni PT Arutmin Indonesia, PT Mitra Jaya Abadi Bersama, PT Autum Bara Energi, dan PT Anugerah Borneo Coal.
Selain jalan nasional yang terputus, longsor juga menyebabkan 23 Kepala Keluarga (KK) yang berdomisili disepanjang tepian jalan kini nasibnya tak jelas. Padahal rumah mereka ada yang retak-retak, rusak berat hingga hancur. Mereka masih menunggu kepastian siapa yang akan mengganti kerugian yang mereka alami. Belum lagi kerugian akibat kios-kios mereka yang kini sepi pembeli.***
Komentar
Posting Komentar