Potensi "Perang Saudara" Akibat Ulah Para Buzzer
Obroloan Seruput Kopi (2)
SEMAKIN hari publik kian jengah dengan ulah para Buzzer yang terus menunjukkan eksistensinya dalam menciptakan sekat antar kelompok, golongan, ras, bahkan agama.
Para Buzzer nampak tidak lagi menghiraukan potensi terjadinya "perang saudara" akibat ulahnya membangun tembok sekat berdinding kebencian diantara kelompok yang belum sepenuhnya berdamai sejak Pilpres beberapa tahun silam.
Meskipun yang masih nampak jelas belum sepenuhnya berdamai hanyalah segelintir pada tataran menengah, namun pupuk sentimen bahkan kebencian yang terus ditabur para Buzzer, bukan tidak mungkin akan menumbuhkan kembali benih-benih kebencian masa lalu.
Perdamaian yang telah dicapai pada tataran elit dan akar rumput, bisa dipastikan akan sia-sia jika para Buzzer yang menguasai media framing terus memupuk komentar-komentar penuh kebencian.
Apakah para Buzzer itu pejuang demokrasi yang menjunjung nilai-nilai kebhinekaan...?
Dapat dipastikan, para Buzzer bukanlah pejuang, melainkan penabur bibit kebencian yang hendak melihat negeri ini bergolak dalam perang saudara yang sesungguhnya. Dari framing yang tiap hari menghiasi media masa, jelas tersirat jika mereka tidak akan pernah puas sebelum anak negeri saling menumpahkan darah.
Parahnya lagi, "sebusuk" apapun framing yang diviralkan para Buzzer, belum juga menjadi perhatian serius bagi aparat penegak hukum. Padahal perangkat hukum di negeri ini sudah sangat lengkap bahkan lebih dari cukup jika hanya sekedar untuk menjerat politik adu-dombanya para Buzzer.
Seandainya saja para pemegang kekuasaan sadar, bahwa Buzzer bukanlah sekedar "pelantang" suara biasa, melainkan penyulut sumbu kebencian yang setiap saat bisa saja menimbulkan ledakan dahsyat di seantero negeri, mungkin tak kan ada lagi yang perlu diragukan untuk memproses setiap Buzzer dengan perangkat hukum yang berlaku.
Begitu pula jika memang benar yang diperkirakan banyak pihak, bahwa para Buzzer merupakan "herder" gembalanya oknum tertentu, yang setiap saat siap menyalak sesuai kebutuhan sang gembala. Maka perlu dipastikan kembali siapakah sebenarnya sang pengembala...? Karena bukan tidak mungkin sang penggembala termasuk kelompok "pembenci" yang tidak senang melihat negeri ini damai dalam bingkai kebhinekaan.***
Komentar
Posting Komentar