TKDN, Masih Jadi Lahan Basah Pemburu Rente...?


Catatan Redaksi

BELAKANGAN tetiba publik dikejutkan dengan adanya oknum pejabat ditubuh Pertamina yang dikhabarkan oleh Menteri Marves, Luhut Binsar Panjaitan, telah dipecat langsung oleh Presiden Jokowi karena diduga bermain pada takaran Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

Jika dilihat dari keseriusan Presiden dalam mendorong penggunaan komponen produk dalam negeri, sepatutnya mendapatkan dukungan yang lebih serius lagi dari berbagai pihak, baik elemen penyelenggara negara sendiri, BUMN, swasta, maupun publik yang memegang peranan penting dalam hal pengawasan.

Sebab jika semua pihak tidak seirama, maka dorongan Presiden tersebut hanya akan menjadi mimpi yang sulit untuk diwujudkan.

Bagaimana tidak...? Hingga kini, penggunaan TKDN baru sebatas pada tataran laporan, belum menyentuh pada fakta yang sesungguhnya. Kalau sudah berjalan, mestinya sudah nampak efek dominonya, yakni peningkatan jumlah produksi dalam negeri dan bertambahnya tenaga kerja yang dibutuhkan pada sektor-sektor produksi TKDN yang paling dibutuhkan dalam pembangunan infrastruktur ditanah air.

Begitupun persoalan masih rendahnya penggunaan komponen produk dalam negeri selama ini, tidak bisa dilihat dari kacamata kuda. Perlu ditelaah dan diselesaikan persoalannya dari hulu ke hilir.

Persoalan-persoalan yang tak bisa dinafikkan itu, mulai dari apa yang menjadi alasan BUMN maupun swasta masih senang kucing-kucingan menggunakan produk impor...? Kenapa produk dalam negeri masih jauh lebih mahal dari produk impor meskipun sudah dikenakan pajak impor...? Siapa yang bermain hingga membuat biaya produksi didalam negeri tidak bisa ditekan, dan menyebabkan barang lokl tidak bisa bersaing, baik dari sisi kualitas maupun harga...?

Jika serius hendak membangun negeri yang tidak berbasis import, maka semua persoalan itu harus diurai satu per satu dan diselesaikan segera. Disinilah pemerintah dituntut kehadirannya secara nyata, bukan sebatas diatas kertas. Sebab sekecil apapun celahnya, itu menjadi jalur tikus bagi para mafia yang selama ini merongrong kedaulatan bangsa dan negara.

Selama harga dalam negeri masih mencekik leher, dan elemen penyelenggara negara belum serius masuk lebih jauh, maka disitulah celah bagi mafia untuk berburu rente dari produk impor yang jauh lebih murah.

Sampai pada titik ini dapat disimpulkan, bahwa persoalan mendasar adalah pada keseriusan, utamanya elemen penyelenggara negara.

Dalam hal tender saja. Selama ini masih berorientasi pada harga terendah. Tak peduli walau 70-80 persen bahan yang digunakan dalam konstruksinya adalah barang impor.

Mestinya pemerintah hadir, dan membuka peluang bagi penawar dengan pengguna komponen lokal prosentase tertinggi, meskipun harga penawarannya sedikit lebih tinggi dibanding penawar terendah namun prosentase penggunaan komponen lokalnya lebih rendah. Artinya ada insentif bagi penawar dengan prosentase penggunaan komponen lokal tertinggi.

Kalau hal itu sudah dilakukan, maka tinggal pengawasan dalam penggunaannya saja yang diperkuat, agar komponen lokalnya tidak hanya sebatas diatas kertas. Karena disitulah celah bagi mafia untuk berburu rente.

Tutup Celah Produksi Biaya Tinggi

Ada yang menarik dari yang redaksi infobarak dapati dalam perjalanan malam didalam ruas Tol Merak-Jakarta hingga Tol dalam kota Jakarta arah Bekasi, pada malam tanggal 01 Maret 2021 lalu.

Perjalanan dalam ruas jalan Tol yang biasanya lancar, tetiba tersendat. Setelah bersusah payah menyalip dengan sabar, ternyata didepan ada puluhan kendaraan angkutan yang diduga scrap dari Krakatau Steel yang entah akan dibawa kemana. Puluhan kendaraan angkutan tersebut dikawal oleh dua kendaraan Patwal. Nampak juga satu kendaraan SUV (Avanza) yang sepertinya termasuk dalam iring-iringan puluhan kendaraan angkutan tersebut.

Catatan Redaksi, tahun lalu, persoalan scrab Krakatau Steel sempat ditangani oleh Polda Banten dan semua kendaraan angkutannya dikandangkan, meskipun kasusnya kini tak terdengar lagi kabar beritanya. Ketika itu semua pihak yang mendukung pengungkapan kasus tersebut berpendapat, kenapa scrab harus dibawa keluar dari lingkungan kompleks Krakatau Steel yang memerlukan biaya tambahan (ongkos angkut & biaya produksi), jika bisa diolah didalam komplek Krakatau Steel sendiri.

Sampai disini, silahkan menelaah, apakah dugaan ini termasuk dalam kategori yang menyebabkan produksi biaya tinggi, sehingga membuat harga jual produk dalam negeri jauh lebih tinggi ketimbang barang impor...???***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IJD BBPJN Sulsel Bangun Jalan Penghubung Sulsel-Batas Sulbar & Batas Sulteng

Tunjangan Kinerja PNS Kementerian PUPR Diusulkan Naik 100 Persen

Dukung Pengembangan Kawasan, BBPJN Sumut Bangun Jl Lingkar Ir Soekarno Siborongborong