Pemufakatan Jahat Dalam Tender
Oleh: Danil's
SETELAH kewenangan lelang/tender pengadaan barang/jasa pemerintah di bidang infrastruktur beralih ke Balai Pelaksana Pemilihan Jasa Konstruksi (BP2JK), publik dan pelaku dunia usaha tentu sangat berharap proses pengadaan menjadi lebih transparan dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Penyelenggara tender boleh saja "bersilat" dibalik mekanisme dan regulasi yang ada. Namun itu bukan berarti pemenang tender tidak bisa diatur. Faktanya masih ada proses tender yang dibatalkan karena disinyalir kental dengan nuansa pemufakatan jahat, yang lebih dikenal dengan istilah konspirasi dan persekongkolan dalam tender. (BACA: infobarak edisi 01, 03, 17, 18, 21, 22, 23, dan 24 September 2020).
Kewenangan, baik didalam tubuh organisasi penyelenggara infrastruktur sendiri maupun dari luar (politikus, pemeriksa dll), sangat menentukan sukes atau tidaknya pengaruh dalam menentukan pemenang tender, selain kekuatan finansial untuk menyuap oknum-oknum pejabat yang terkait dengan tender.
Pengambilan kebijakan yang tidak menimbang segala sisi, membuat perilaku pemufakatan jahat dalam tender masih leluasa terjadi. Salah satu contoh, adalah tidak adanya unit pengawas yang khusus mengawasi penyelenggaraan tender. (BACA: infobarak edisi 28 September 2020).
Dengan besarnya anggaran, baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kerjasama dengan badan usaha, maupun dari pinjaman luar negeri dengan nilai yang mencapai ratusan triliun, sangat naif tidak memiliki unit pengawasan khusus.
Dengan ketiadaan unit pengawasan yang khusus memantau sekaligus memproses jika terdapat kejanggalan dalam tender pengadaan barang/jasa pemerintah, maka tidaklah berlebihan jika publik menduga, bahwa praktek pemufakatan jahat dalam tender bertransformasi menjadi satu pintu. Indikasinya bisa ditakar dari masih adanya beberapa tender yang digugat hingga dibatalkan.
Mestinya terpaan badai korupsi yang melanda Kementerian dalam beberapa tahun belakangan, cukup menjadi pelajaran untuk memperbaiki sistem dan membangun integritas para pejabat penyelenggara anggaran paling depan. Karena hanya lewat pemilihan jasa konstruksi yang bebas dari pemufakatan jahatlah, dapat diperoleh infrastruktur yang berkualitas dan memenuhi unsur manfaat.
Benarkah BP2JK Implementasi Dari 9 Langkah Pencegahan Penyimpangan PBJ...?
Bukan hanya praktek pemufakatan jahat yang disinyalir terjadi dalam penyelenggaraan Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) selama beralih dari Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) dan Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (Satker PJN), namun ada juga tender yang diulang berkali-kali, dan tak mampu diselesaikan walau dalam waktu bertahun-tahun.
Ketidakmampuan BP2JK menyelesaikan proses tender dalam waktu singkat, tentu saja menjadi bumerang tersendiri bagi BBPJN dan Satker/PPK selaku penyelenggara infrastruktur dilapangan. Sebab selain harus berhadapan langsung dengan protes jalan/jembatan rusak bahkan lewat aksi demonstrasi, BBPJN dan Satker/PPK juga harus berjuang untuk mendapatkan dana transisi, agar jalan/jembatan tetap fungsional dan tidak membahayakan nyawah masyarakat pengendara.
Jangan lupa, pembentukan BP2JK sendiri bermula dari temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyatakan bahwa, penyimpangan terbesar dalam penyelenggaraan anggaran infrastruktur terjadi pada proses Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ).
Menurut Menteri PUPR, pembentukan BP2JK merupakan sikap kementerian dalam mengimplementasikan sembilan langkah pencegahan penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa, yang terdiri atas reorganisasi struktur ULP dan Pokja PBJ, memperkuat SDM, memperbaiki mekanisme penyusunan HPS, pembinaan penyedia jasa baik kontraktor maupun konsultan, pemeriksaan hasil pekerjaan yang melibatkan BPKP, mengurangi risiko di Balai dan Satker, pembentukan unit kepatuhan internal, pembentukan Inspektorat bidang investigasi dan penguatan kapasitas auditor, dan monitoring atas perangkat pencegahan kecurangan dalam teknologi informasi.
Lalu apakah kemudian BP2JK sudah berjalan sesuai niat awal pembentukannya...? Penilaian tentunya kembali pada penyelenggara jalan/jembatan dilapangan, publik, dan pelaku dunia usaha itu sendiri. Yang jelas, tanda-tanda yang mengarah pada perubahan yang lebih baik, belum juga terlihat walau samar.*
Penulis adalah: Kornas Barisan Rakyat Anti Korupsi (Barak)
Komentar
Posting Komentar